}
"Mari Mengenal Nabi Muhammad Saw dan Sahabat Nabi Muhammad Saw Lebih Dekat Dengan Membaca dan Meneladani Kisah Hidup Mereka, Agar Kita Dapat Menjalankan Kehidupan Yang Lebih Baik Sesuai Tuntunan Nabi Muhammad Saw Dan Para Sahabat Beliau."

Mari Mengenal Istri - Istri Tercinta Nabi Muhammad Saw

Mari Mengenal Sosok Istri Nabi Muhammad Saw

Istri Nabi Muhammad Saw Khadijah Binti Khuwailid Ra, Ummul Mukminin

Khadijah binti Khuwailid RA merupakan seorang wanita terpandang di Makkah, dari keturunan yang mulia, juga seorang pengusaha yang sukses. Khadijah telah menikah dua kali sebelum pernikahannya dengan Nabi Muhammad Saw.

Sebagian riwayat mengatakan bahwa Khadijah menikah pertama kalinya dengan Atik bin Aidz, dari pernikahaannya itu ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Hindun, yang kemudian menjadi seorang muslimah yang taat.
Kisah Nabi Muhammad Saw 3 Istri
Istri - Istri Rasulullah Saw
Setelah berpisah dengan Atik, Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah, atau nama aslinya Nabasyi bin Malik. Dari pernikahannya ini ia mempunyai dua orang anak, lelaki dan perempuan (sebagian riwayat mengatakan, keduanya lelaki). Pada pernikahan ini Khadijah menjadi janda karena Abu Halah meninggal lebih dulu dari Khadijah,.Riwayat lain menyebutkan, Abu Halah suami pertamanya, baru kemudian Atik bin Aidz.

Dalam status jandanya yang kedua kali ini, banyak sekali pemuka dari kaum Quraisy yang ingin memperistrinya, tetapi dengan tegas ia menolaknya. Karena beliau hanya hanya tertarik pada orang –orang yang baik budi pekerti dan ahklahnya.

Dalam menjalankan bisnisnya Khadijah mempunyai kebiasaan meminta seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain dan membagi keuntungan dengan mereka. Pada saat itu ketika ia mendengar kabar tentang Nabi Muhammad Saw yang mempunyai kejujuran, kredibilitas dan kemuliaan akhlak yang tinggi, ia menawarkan untuk bekerja sama dan menjalankan bisnis perdagangan Khadijah ke negeri Syam.

Awalnya Nabi Muhammad Saw menolak untuk bekerja sama karena takut mengecewakan Kahdijah. Namun setelah mendapatkan nasihat dan dukungan dari pamannya, Abu Thalib, akhirnya Nabi Saw yang kala itu masih pemuda berusia 25 tahun menerima tawaran Khadijah untuk menjalankan bisnisnya.

Nabi Saw berangkat ke negeri Syam disertai oleh pembantu Khadijah yang bernama Maisarah, dari perjalanan ini beliau memperoleh keuntungan yang sangat besar dan membaginya dengan Khadijah. Melihat hal ini Khadijah jadi sangat tertarik dengan Nabi Saw, apalagi setelah memperoleh cerita dari Maisarah tentang kejujuran dan ketinggian akhlak beliau selama menjalankan perdagangannya di negeri Syam.

Suatu malam, Khadijah bermimpi melihat matahari turun ke kota Makkah, kemudian bergerak menuju ke rumahnya, sehingga cahayanya menerangi seluruh penjuru rumah dan sekelilingnya. Keesokan hari nya Khadijah mendatangi anak pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nashrani yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mampu menafsirkan mipi orang lain.

Khadijah pun menceritakan mimpinya ini kepada ponakannya itu, Setelah mendengar cerita Khadijah, Waraqah yang telah tua dan buta itu menyatakan bahwa akan turun seorang Nabi di kota Makkah dan Khadijah akan menjadi istrinya.

Mendengar hal itu kemudian Khadijah mempunyai firasat kuat bahwa calon nabi tersebut adalah Muhammad. Siapa lagi orang di Makkah yang mempunyai kualitas akhlak dan perilaku yang lebih baik daripada dia. Ditambah lagi dengan cerita Maisarah selama mengiring Nabi Muhammad Saw menjalankan perdagangannya ke Syam, di antaranya, adanya gulungan awan yang menaungi mereka sehingga terhindar dari teriknya matahari padang pasir, pohon yang menunduk ketika Nabi Saw beristirahat di bawahnya dan banya lagi.

Firasat itu lah yang membuat Khadijah ingin menikahi Muhammad, Dengan perantaraan seorang temannya bernama Nafisah binti Munyah, Khadijah menyampaikan maksudnya untuk menikahi Muhammad kepada pamannya, Abu Thalib. Mendengar hal itu Abu Thalib menyambut baik keinginan Khadijah tersebut.

Walau ia telah berusia 40tahun, Khadijah adalah seorang wanita yang cantik dan pandai, kaya dan terpandang sekaligus sangat menjaga dirinya, sehingga memperoleh gelar Thahirah (wanita suci), dan sangat jauh dari budaya jahiliah.

Setelah Abu Thalib menyetujui maksdu dari Khadijah, Ia menyuruh Muhammad untuk segera menghubungi paman-pamannya untuk melamar Khadijah. dan tidak lama setelah hari itu di langsungkan lah pernikahan Nabi Saw dengan Khadijah dan  berlangsung dengan meriah.

Pernikahaannya ini dihadiri oleh Bani Hasyim dan pemuka Bani Mudhar. Mas kawin yang diberikan Nabi Muhammad Saw adalah 20 ekor unta muda, yang menjadi wali Khadijah pada saat itu adalah pamannya, Umar bin Asad karena ayahnya, Khuwailid telah meninggal dunia.

Istri Nabi Muhammad Saw Aisyah Binti Abu Bakar Ra, Ummul Mukminin

Aisyah binti Abu Bakar Ra merupakan istri yang paling dicintai oleh Nabi Muhammad Saw setelah Khadijah Ra, dan satu-satunya wanita yang dinikahi Nabi Saw dalam keadaan gadis. Ia mendapat panggilan kesayangan dari Nabi Saw, Khumaira, yang artinya, yang pipinya kemerah-merahan.

Ia adalah seorang wanita yang cerdas, sehingga setelah Nabi Saw wafat, ia menjadi pengganti Nabi Muhammad Saw jika ada sahabat yang bertanya tentang berbagai permasalahan.

Aisyah dinikahi Nabi Muhammad Saw ketika ia masih berusia 6 tahun di Makkah, dan mulai berkumpul dengan beliau ketika berusia 9 tahun di Madinah. Riwayat lainnya menyebutkan, ia dinikahi Nabi Saw pada usia 9 tahun, dan berkumpul dengan beliau pada usia 11 tahun.

Ketika Nabi Muhammad Saw wafat, Aisyah baru berusia 18 tahun. Ia lahir pada tahun ke 4 kenabian, dan wafat pada usia 66 tahun, malam selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 Hijriah.

Awal mula pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad Saw, adalah ketika Khaulah binti Hakim menemui Nabi Saw beberapa waktu setelah meninggalnya Khadijah RA. Ia menanyakan kesediaan Nabi Saw untuk menikah lagi, dan ia memberikan pandangan, jika janda, adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais, dan jika gadis, adalah Aisyah binti Abu Bakar.

Namun Ketika itu Nabi Saw menyerahkan urusan ini pada Khaulah. Ketika Khaulah menemui orang tua Aisyah, baik ibunya, Ummu Ruman atau bapaknya Abu Bakar Ra sempat terkejut, karena Aisyah masih termasuk keponakan Nabi Saw sendiri.

Khaulah pun menemui Nabi Saw dan menjelaskan status Aisyah yang masih keponakan beliau, tetapi beliau menyampaikan bahwa Aisyah tidak termasuk keponakan yang terlarang untuk dinikahinya. Abu Bakar R.a dan Ummu Ruman dengan gembira menerima lamaran Nabi Saw melalui Khaulah ini.

Tidak lama setelah melakukan lamaran itu Nabi Saw datang ke rumah Abu Bakar, dan beliau dinikahkan sendiri oleh Abu Bakar dengan putrinya, Aisyah.

Setelah Beberapa bulan setelah tinggal di Madinah, Abu Bakar bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, tentang putrinya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak Aisyah tinggal bersama engkau?"

"Saya tidak mempunyai peralatan rumah tangga..!" Kata Nabi Saw.

Mendengar jawaban beliau itu, Abu Bakar memutuskan untuk membeli peralatan rumah tangga yang diperlukan, dan membawanya ke rumah Rasulullah Saw. Setelah semuanya siap, kemudian Abu Bakar mengantarkan Aisyah ke rumah beliau, di bulan Syawal tahun 1 atau 2 hijriah di waktu dhuha.

Setelah ditinggal wafat Nabi Saw, Aisyah sering memperoleh hadiah uang dari para sahabat, seperti Muawiyah, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dll., sehingga sebenarnya ia tidak dalam keadaan kekurangan.

Tetapi didikan Nabi Muhammad Saw atas dirinya tidak sedikitpun berubah. Kemurahan dan kesederhanaan tetap menjadi pola hidupnya sebagaimana yang dijalaninya bersama Nabi Saw, sehingga hidupnya seperti dalam kekurangan.

Suatu ketika pernah Aisyah memperoleh hadiah dua karung uang yang masing-masing berisi 100.000 dirham. bukannya Aisyah menyimpan uang tersebut tetapi Ia malah membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin dari pagi hingga sore.

Hari itu Aisyah sedang berpuasa, saat masuk waktu maghrib, pembantunya datang membawa makanan untuk berbuka berupa sepotong roti dan minyak zaitun. Ia berkata kepada Aisyah, "Seandainya engkau tadi menyisakan satu dirham, tentu aku bisa menyediakan sepotong daging untuk menu berbuka."

"Mengapa engkau baru mengatakannya sekarang," Kata Aisyah, "Andai tadi engkau mengatakannya, tentu kusisakan satu dirham untukmu."

Pernah juga Suatu ketika Aisyah dalam keadaan puasa, dan hanya memiliki sepotong roti untuk persiapan berbuka. Tiba-tiba datang seorang lelaki miskin meminta makanan kepadanya, Aisyahpun menyuruh pembantunya menyerahkan sepotong roti yang dimilikinya itu.

Mendengar hal itu pembantunya berkata, "Jika kita memberikan roti ini, kita tidak memiliki makanan lagi untuk berbuka puasa…!"

“Biarlah, berikan saja roti itu kepadanya." Kata Aisyah menjawab.

Keadaan seperti itu seringkali terjadi, sehingga menyulut rasa kasihan dari keponakannya, Abdullah bin Zubair, karena hidupnya yang dalam keadaan miskin dan serba kekurangan.

Sebenarnya bukannya tidak ada harta dan uang yang datang, tetapi karena gemarnya bersedekah, sehingga tidak ada yang ‘sempat’ menginap walau hanya semalam, sebagaimana seringkali dicontohkan oleh Nabi Saw.

Abdullah bin Zubair adalah anak dari saudaranya, Asma binti Abu bakar R.a, dan sejak kecil Aisyah ikut mengasuhnya hingga ia amat sayang pada bibinya tersebut.

Atas sikap kedermawanan bibinya ini, ia pernah berkata pada salah seorang sahabat, "Saya harus menghentikan kebiasaan bibi yang selalu banyak bersedekah ini…"

Ucapannya itu ternyata sampai kepada Aisyah, dan ia merasa sangat marah kepada keponakannya, ia berkata, "Mengapa engkau melarang aku bersedekah?"

Sambil berkata seperti itu, ia bersumpah tidak akan berbicara lagi dengan Abdullah bin Zubair. Bagaimanapun juga sikap dermawannya itu adalah didikan dan juga dukungan penuh Nabi Muhammad Saw selama ia hidup bersama beliau, sehingga tak mungkin ia meninggalkan atau merubahnya.

Ibnu Zubair menyadari kesalahannya, ia berusaha untuk meminta maaf dan meminta bibinya membatalkan sumpahnya tersebut, tetapi Aisyah tetap teguh dengan sumpahnya.

Beberapa sahabat datang untuk membujuknya membatalkan sumpahnya tetapi tidak berhasil juga. Akhirnya ia meminta bantuan Hasan dan Husain, dua cucu kesayangan Nabi Saw. 

Dengan suatu siasat Ibnu Zubair berhasil menemui Aisyah, Hasan dan Husain mengingatkanmya berulang-ulang akan larangan Nabi Muhammad Saw untuk memutuskan silaturahmi, sehingga akhirnya Aisyah luluh juga. Ia membebaskan dua orang budaknya sebagai kafarat membatalkan sumpahnya.

Aisyah seringkali menangis jika mengingat masalah ini. Pertama karena ketergesaannya dalam bersumpah, sehingga membawa dampak yang luas bagi orang-orang di sekitarnya, dan kedua karena ia harus melanggar dan membatalkan sumpah yang diucapkannya sendiri. Begitu menyesalnya, sehingga air matanya mengalir deras membasahi kain yang dipakainya.

Aisyah adalah seorang yang sangat cerdas, masa kanak-kanak dan remajanya bisa dikatakan dihabiskan bersama Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian ia mampu menghafal begitu banyak Hadits dan juga ayat Al Qur'an.

Padahal saat itu belum populer alat tulis dan buku catatan sebagai sarana penyimpan informasi. Tak kurang dari 2.210 hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah.

Tidak hanya itu, ia juga mampu memberikan solusi berbagai permasalahan agama yang mucul kemudian, berdasarkan apa yang dialaminya bersama Rasulullah Saw. Apa yang disabdakan dan dilakukan beliau, menjadi dasar acuannya dalam memberikan solusi. Tak jarang beberapa sahabat terkemukamendatangi Aisyah untuk meminta pertimbangan.

Istri Nabi Muhammad Saw Ummul Mukminin Hafshah Binti Umar Ra

Hafshah binti Umar bin Khaththab RA, sebelumnya adalah istri Khunais bin Khudzafah, seorang sahabat yang memeluk Islam pada masa awal berkembangnya Islam.

Mereka menikah ketika masih di Makkah, sempat hijrah ke Habasyah, dan langsung berhijrah ke Madinah, ketika Nabi Muahmmad Saw dan para sahabat lainnya hijrah ke sana.

Khunais meninggal akibat luka parah yang diperolehnya ketika perang Badar (riwayat lain menyebutkan perang Uhud). dan setelah itu untuk menjaga kehormatan Hafsah Umar Bin Khatab menikahkannya dengan Nabi Saw.

Hafshah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, dan wafat di Madinah pada Jumadil Ula tahun 45 hijriah dalam usia 63 tahun (Riwayat lain menyebutkan, tahun 41 hijriah dalam usia 60 tahun). Khunais meninggal pada tahun 2 atau 3 Hijriah, beberapa bulan kemudian Nabi Saw menikahi Hafshah, ketika itu ia berusia sekitar 21 tahun.

Ketika Hafshah menjadi janda, Umar binKhaththab menjadi sedih dengan keadaan anaknya tersebut, karena itu ia menemui Abu Bakar dan memintanya untuk menikahi Hafshah, tetapi Abu Bakar hanya diam tanpa berkata apapun.

Melihat reaksi ini, Umar menemui Utsman bin Affan, yang saat itu baru saja ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah Ra, putri Rasulullah Saw. Ia meminta Utsman menikahi Hafshah, tetapi Utsman berkata, "Saat ini, aku belum ada keinginan untuk menikah lagi!"

Mendengar penolakan dari dua orang sahabatnya, yang juga dua orang muslim terbaik, kesedihan Umar menjadi bertambah, karena itu ia mengadukan persoalan ini pada Nabi Muhammad Saw. Mendengar keluh kesah dan kegundahan hati Umar ini, Nabi Saw hanya tersenyum, kemudian beliau bersabda, "Akan aku tunjukkan padamu, suami bagi Hafshah yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman, dan bagi Utsman ada istri yang lebih baik daripada Hafshah…"

Umar sempat bingung dan tidak mengerti dengan ungkapan Nabi SAW. Tetapi kemudian menjadi kegembiraan tak terkira ketika beliau mengatakan akan menikahi Hafshah, dan menikahkan Utsman dengan putri beliau lainnya, Ummu Kultsum.

Setelah pernikahan Nabi Saw dengan Hafshah tersebut, Abu Bakar menemui Umar dan meminta maaf atas sikapnya tersebut, ia menjelaskan kalau Nabi Saw menyatakan kepadanya, berniat menikahi Hafshah.

Karena itu tidak mungkin ia menerima permintaan Umar untuk menikahi anaknya tersebut, tetapi ia tidak ingin mengatakan rahasia Nabi Muhammad Saw. 

Dengan penjelasan ini Umar berkata, "Sesungguhnya diamnya Abu Bakar, lebih mengejutkan dan menyedihkan daripada penolakan Utsman!"

Hafshah adalah seorang wanita ahli ibadah yang sangat taat'. Seperti halnya Aisyah, ia juga seorang istri dengan kecintaan yang begitu besar kepada Nabi Muhammad Saw, sekaligus rasa cemburu yang besar kepada istri beliau lainnya.

Atas kecemburuan putrinya yang berlebihan ini, Umar pernah menasehatinya, "Hai Hafshah, insyaflah, apa arti dirimu dibanding Aisyah, apalah arti bapakmu ini dibanding Abu Bakar!!"

Pernah juga ia membantah Nabi Saw, sehingga beliau sempat marah selama satu hari. Ketika Umar mendengar hal ini dari istrinya, Umar begitu murka, ia mendatangi Hafshah dan berkata, "Ingatlah wahai Hafshah, akan akibat kemurkaan Allah dan kemarahan RasulNya, jangan engkau merasa iri dengan wanita yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan Rasulullah Saw kepadanya. Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah Saw tidak mencintaimu, kalau tidak karena aku, tentu engkau telah dicerai!!"

Nasehat dan juga kemarahan ayahnya ini ternyata belum cukup untuk mengurangi sikap cemburunya hingga batas wajar, sampai akhirnya Allah menurunkan teguranNya, sebagaimana tercantum dalam surah Tahrim 3-5.

Apa yang dilakukannya bersama Aisyah Ra, sempat menyebabkan terganggunya ketentraman rumah tangga Rasulullah Saw. Beliau sempat mengasingkan diri bersama pembantunya, Abu Rafi Ra, menjauhi semua istri-istrinya. Bahkan sempat berkembang isyu bahwa beliau menceraikan semua istrinya.

Sekali lagi Umar memperoleh kabar bahwa penyebab semua ini adalah Hafshah. Dengan luapan marah, bercampur sedih dan malu, Umar mendatangi putrinya tersebut dan berkata, "Barangkali Rasulullah telah menceraikanmu…jika beliau merujukmu, setelah menjatuhkan talak satu, itu hanya karena beliau mengasihani diriku. Jika beliau sampai mentalakmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya!"

Memang, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Nabi Saw menceraikan Hafshah setelah peristiwa itu, hanya kemudian datang Jibril membawa perintah Allah Swt agar beliau merujuk Hafshah, untuk menghilangkan kesedihan Umar.

Umar menjumpai Nabi Saw di tempat penyendirian beliau bersama Abu Rafi, ia sempat menangis melihat keadaan Nabi Saw yang begitu menyedihkan, dan meminta maaf atas sikap putrinya.

Beliau hanya tersenyum, dan menyatakan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, tetapi hanya menjauhi mereka selama satu bulan.

Setelah peristiwa ini, dan teguran keras Allah lewat Surat At Tahrim 3 - 5, barulah Hafshah menyadari bahaya yang ditimbulkan dengan sikap cemburunya, dan ia tak pernah lagi mengulanginya.

Demikianlah kisah tentang 3 istri Nabi Muhammad Saw, semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran untuk kita untuk mengenal lebih dekat Istri Rasulullah Saw. 
Dan mari kita jadikan kisah ini sebagai sebab untuk mencintai Rasulullah Saw dan Keluarganya, Jika artikel ini bermanfaat Bantu untuk like, +1, dan share yah sahabat.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment